Rabu, 22 April 2020

Kritik Wahyu Kokkang untuk Kartini Kini

Gadis Rantau
Sumber Gambar: www.facebook.com/wahyu.kokkang
 Kartunis Jawa Pos, Wahyu Kokkang mengkritik Kartini masa kini. Melalui karakter kartunnya yang khas, Wahyu Kokkang mengkritik perempuan masa kini yang terlalu banyak bicara. Karakter dalam kartun tersebut berguman "Setahu saya, dulu Kartini banyak menulis, bukan banyak bicara..." karakter kartun laki-laki tersebut banyak berguman sambil melihat karakter perempuan yang bicara banyak melalui telepon. Saking banyak dan lamaya berbicara, karakter kartun perempuan dijadikan sarang oleh laba-laba.



Kata Kartini dalam ucapan kartun di atas adalah mewakili seluruh perempuan. Sekarang lagi gegap gempita memperingati hari kartini. Tidak hanya sekarang, tetapi juga setiap tanggal 21 April. Tetapi yang menjadi masalah peringatan tersebut hanya seremoni. Hanya sebatas sanggul, kebaya, dan make up. Melalui kartun tersebut Wahyu Kokkang juga mengkritik itu semua. 

Sekarang diperparah lagi dengan adanya media sosial. Denga menulis #KartiniDay atau #HariKartini seorang perempuan mungkin telah menganggap dirinya memperingati Kartini. Seharusnya memperingati Kartini adalah mencontoh semangat perjuangannya. Mencontoh cara perjuangannya. Dikisahkan, RA Kartini di usia mudanya melakukan korespondensi (surat-menyurat) dengan perempuan Belanda (Nyonya Abendanon). Dari situ, dapat diketahui bahwa Kartini bisa baca tulis, bisa bahasa Belanda. Kemampuan yang sangat jarang sekali dimiliki perempuan kala itu. 

Mungkin ada pula yang tidak setuju dengan kartun Clekit di atas, bukankah Kartini (baca: Perempuan) sekarang juga sering menulis, bahkan lebih banyak menulis daripada berbicara, tetapi di media sosial. Baik di facebook maupun di twitter. Sebenarnya facebook dan twitter atau media sosial lain juga bahasa yang digunakan bukan bahasa tulis, melainkan bahasa lisan. Berarti itu juga berbicara.

Bahasa tulis seharusnya terstruktur dengan sistematis dan menggunakan kaidah penulisan agar dapat dipahami dengan mudah oleh para pembacanya. Sedangkan bahasa lisan adalah bahasa interaksi dua arah. Bedanya, bahasa lisan yang ada di media sosial adalah bahasa lisan yang menggunakan media tulis. Amati saja, pasti tulisan di media sosial berupa bahasa singkat yang harus dipahami dengan mengamati interaksinya.

Lalu bagaimana dengan Kartini sekarang? Mungkin tidak semuanya begitu, tetapi menjadi banyak yang lebih suka berinteraksi melalui media sosial, bahkan cenderung suka membagikan  yang dialami melalui media sosial elektronik. Tidak salah juga ketika ada meme yang berbunyi: dulu jika seorang ibu mendapati anaknya jatuh, sang ibu segera mengobati. sementara sekarang jika anaknya jatuh dan terluka seorang ibu akan segera mengambil handphone dan update status: LEKAS SEMBUH YANG SAYANG, MAMA MENCINTAIMU.

Hehehehehe.

Salam !